Manusia dan Filsafat Penciptaan



Manusia dan Filsafat Penciptaan

Di bawah ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai latar belakang dan alasan-alasan manusia untuk mesti berpaling dan merenungkan kembali filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.
1. Kehidupan Dunia yang Trasient
Mayoritas manusia ketika memandang aspek ketaklanggengan (transient), ketidakabadian, dan keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan. Semua  kebahagiaan, kenikmatan, dan kebaikan di dunia ini mesti mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah sebuah kenyataan yang tak satu pun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya yang terdalam ia bertanya: Apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan alam yang tak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material ini? Apakah yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti berujung pada masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan keberuntungan manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama hidupnya senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaan hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang dicita-citakan, maka mustahil ia menanyakan dan merenungkan kembali hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hidup, filsafat penciptaan, dan tujuan kehidupan.
2. Misteri Kematian
Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk. Seluruh manusia jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan mereka adalah kematian.
Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapatkan kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur penderitaan mesti berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan?
Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan manusia di dunia ini.
3. Kegagalan dalam Cita-Cita
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya mengalihkan manusia untuk kembali merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan dunia adalah ketika manusia menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam menggapai cita-cita dan keinginan duniawi.
Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan, manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi kehidupan duniawinya.
Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang. Sebagai contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan, di saat seperti ini, terkadang akan mengarahkan pikiran-jernih dan menggoyah kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat penciptaan.
4. Kondisi Kehidupan Sosial yang Tak Menguntungkan
Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah yang sulit mencari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya.
Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan kemalangan?
Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya, tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi. Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.
5. Pertanyaan Hakiki tentang Filsafat Penciptaan
Hal-hal yang dikemukakan di atas belumlah menyentuh jawaban hakiki dari permasalahan tujuan kehidupan dan filsafat penciptaan, mereka yang mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah bersifat aksidental karena penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan menguasai seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini dan segala realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki atas pertanyaan tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.
Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa dirahi ketika manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.
Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya.
Apabila manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan kepada kehidupan duniawi dan material.
Para pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.
Pandangan yang berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa kehidupan dunia-material bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka beranggapan bahwa alam itu tidak terbatas pada alam materi saja melainkan terdapat juga alam akal dan mitsal(barzakh)[1]. Alam-alam ini, walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi secara universal memiliki tujuan akhir dan hakiki. Adalah suatu kesalahan apabila kita memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan setiap alam itu merupakan tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak lain adalah tujuan akhir seluruh penciptaan dan realitas kehidupan.
Sumber :
http://travelmeant.net/cgibin/r.cgi?p=10003&i=66edd965&j=333&m=b2eb1233f82724eaed93e5dd3b2805ad&h=www.alhassanain.com&u=/indonesian/articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/falsafah_penciptaan/001.html&q=&t=20150128015451

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tahu dan Ketidaktahuan

Pentingnya Filsafat Pendidikan

Filosofi Debu