Ilmu pengetahuan, Filsafat dan Agama
Ilmu
pengetahuan, Filsafat dan Agama
Peradaban
manusia sepanjang sejarah memang tidak terlepas dari aspek filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama. Dinamika kehidupan dan peradaban manusia dibentuk oleh
ketiga aspek tersebut. Ketiga aspek tersebut menjadi sumber denyut perkembangan
dan perubahan tatanan dalam semua aspek kehidupan. Pasang surutnya
bangsa-bangsa di dunia sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan agama
serta bagaimana sinergitas ketiganya dalam membangun peradaban manusia.
Peradaban barat, timur maupun peradaban yunani berkembang dan besar karena
mampu merekontruksi peradabannya dari ketiga aspek tersebut. Sudah menjadi
hukum alam perubahan, bahwa tanpa trisula tersebut hampir mustahil suatu
masyarakat suatu peradaban bisa berdiri kokoh menatap masa depannya dan bersaing
dengan peradaban lain.
A. Relasi Ilmu pengetahuan, Filsafat
dan Agama
Anugerah akal pikiran yang menjadi titik pembeda
signifikan manusia dengan makhluk lainnya membuat manusia menciptakan
pruduk-produk pemikiran yang luar biasa untuk tujuan hidupnya. Manusia
diidentifikasi sebagai makhluk simbolik (simbolicum animal) yang mampu
menciptkan sistem simbol dalam hidup dan berinteraksi dengan sesamanya yang
tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sistem simbol yang terbentuk dalam cara
mengungkapkan dan mengekspresikan keinginan, minat, dan tujuan hidupnya.
Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam, yaitu dengan agama, filsafat, dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung. Dari ketiga titik tersebut kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya pemetaan dan gambaran yang sesungguhnya ketiganya dalam menentukan kebenaran.
Titik persamaan antara ketiga-ketiganya adalah bahwa baik agama, filsafat maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran agama, dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia. Baik tentang Tuhan, manusia maupun alam. Filsafat, dengan wataknya sendiri, berusaha mencari kebenaran baik tentang alam, manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, dan ilmu pengetahuan, dengan wataknya atau metodenya sendiri pula, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia.
Titik perbedaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa agama bersumber dari wahyu Allah, sehingga kebenarannya mutlak; sedangkan filsafat dan ilmu pengetahuan bersumberkan ra’yu (akal, budi, rasio) manusia, sehingga kebenarannya nisbi (relative) di samping itu, manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas bumi ini, filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (menggambarkan atau mengelanakan) akal budi secara radikal, integral, dan universal, tidak merasa terikat oleh ikatan tertentu. Dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan riset, empiri (pengalaman) dan eksperiman.
Adapun titik singgung ketiga-tiganya adalah bahwa tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu itu terbatas, dalam arti terbatas oleh subjek (penyelidikan), objeknya (objek material ataupun objek formal, dan oleh metodologinya). Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu kemudian dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat, karena jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif, sedangkan agama memberikan jawaban tentang masalah asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan yang dipertanyakan namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.
Akibat sistem ilmu pengetahuan yang dipisahkan dari rasa dan hati nurani, dari budaya dan nilai-nilai agama, lahir masyarakat sekular yang berpikiran lebih pendek (hanya untuk dunia) dari orang yang beragama (berpikiran ada akhirat yang kekal abadi) kalau moral dan keyakinan sebagai sama-sama makhluk Tuhan dengan manusia dan lingkungan hidup sudah tidak ada, tentu sumber daya alam dikuras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai. Manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekuler (mungkin saja secara formal dan beragama) juga bersifat rakus dan egois. Alam dengan hutan, air, udara, dan hewannya tercemar, dan tidak mampu bertahan lebih lama lagi karena ulah manusia yang punya ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa agama dan moral.
Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam, yaitu dengan agama, filsafat, dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan lainnya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung. Dari ketiga titik tersebut kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya pemetaan dan gambaran yang sesungguhnya ketiganya dalam menentukan kebenaran.
Titik persamaan antara ketiga-ketiganya adalah bahwa baik agama, filsafat maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran agama, dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia. Baik tentang Tuhan, manusia maupun alam. Filsafat, dengan wataknya sendiri, berusaha mencari kebenaran baik tentang alam, manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, dan ilmu pengetahuan, dengan wataknya atau metodenya sendiri pula, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia.
Titik perbedaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa agama bersumber dari wahyu Allah, sehingga kebenarannya mutlak; sedangkan filsafat dan ilmu pengetahuan bersumberkan ra’yu (akal, budi, rasio) manusia, sehingga kebenarannya nisbi (relative) di samping itu, manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas bumi ini, filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (menggambarkan atau mengelanakan) akal budi secara radikal, integral, dan universal, tidak merasa terikat oleh ikatan tertentu. Dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan riset, empiri (pengalaman) dan eksperiman.
Adapun titik singgung ketiga-tiganya adalah bahwa tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu itu terbatas, dalam arti terbatas oleh subjek (penyelidikan), objeknya (objek material ataupun objek formal, dan oleh metodologinya). Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu kemudian dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat, karena jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif, sedangkan agama memberikan jawaban tentang masalah asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan yang dipertanyakan namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.
Akibat sistem ilmu pengetahuan yang dipisahkan dari rasa dan hati nurani, dari budaya dan nilai-nilai agama, lahir masyarakat sekular yang berpikiran lebih pendek (hanya untuk dunia) dari orang yang beragama (berpikiran ada akhirat yang kekal abadi) kalau moral dan keyakinan sebagai sama-sama makhluk Tuhan dengan manusia dan lingkungan hidup sudah tidak ada, tentu sumber daya alam dikuras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai. Manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekuler (mungkin saja secara formal dan beragama) juga bersifat rakus dan egois. Alam dengan hutan, air, udara, dan hewannya tercemar, dan tidak mampu bertahan lebih lama lagi karena ulah manusia yang punya ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa agama dan moral.
B. Ilmu Pengetahuan, Filsafat, Agama
dan Masa Depan Peradaban Manusia
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda , namun
pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedapankan moralitas dan
menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subyektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika,
progresif, bersifat inklusif, dan obyektif. Kendati agama dan ilmu berbeda,
keduanya memiliki persamaannya, yakni tujuan memberi ketenangan dan kemudahan
bagi manusia. Agama memberi ketenagan dan dari segi batin karena ada janji
kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan sekaligus kemudahan
bagi kehidupan di dunia.
Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir
semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin.
Agama dan ilmu sama-sama memberikan penjelasan. Ketika terjadi bencana alam,
seperti banjir dan gempa bumi. Gempa dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan
dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu
manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung
dibalik setiap bencana. Krisis epistemologi dalam keilmuan modern saat ini,
telah memunculkan berbagai upaya untuk mengembalikan peran dan keterlibatan
agama dalam ilmu. Beragam konsep integrasi ilmu dan agama yang ditawarkan oleh
banyak pakar tidak lain dilandasi oleh keprihatinan karena hilangnya aspek
spiritualitas dalam ilmu. Konsep kebenaran ilmu dan kriteria ’ilmiah’ telah
didominasi oleh paham positivisme, yaitu bahwa yang rasional, empiris,
measurable, dan eksperimental sajalah yang dikatakan ilmiah.
Thomas Kuhn dalam analisisnya tentang sejarah
perkembangan ilmu menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak berlangsung linier,
homogen dan rasional (dalam arti akumulatif dan progresif), namun melalui
revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantikan dengan yang baru. Apa
yang dianggap benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai
ditegakkan paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya.
Perubahan paradigma dalam sejarah ilmu tidak termasuk wilayah logis hukum alam,
melainkan terjadi seperti proses ‘metanoia’ (pertobatan) dalam agama. Satu
teori yang didasarkan atas satu paradigma tertentu tidak dapat dibandingkan
dengan teori yang berdasar atas paradigma yang lain.
Kuhn juga mengajukan gugatan atas paradigma positivisme ilmu modern. Berbagai teori ilmu modern menurutnya telah gagal dalam mengungkap misteri yang berada di balik fenomena dan gejala ilmu. Ilmu modern telah menyisakan banyak persoalan dalam kehidupan sehingga meniscayakan perlunya perubahan paradigma dalam ilmu modern.
Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-komplementer. Sumber kebenaran ilmu tidak hanya rasio dan empiri, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dimasukkannya intuisi dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi diterimanya kebenaran agama.
Apabila keempat sumber kebenaran tersebut dipahami sebagai cara mendapatkan kebenaran, maka cara tersebut harus pula disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, kesalahan dalam penggunaan cara dapat pula mengakibatkan kesimpulan yang salah (sesat pikir). Sebagai contoh untuk memahami keberadaan Tuhan tidaklah tepat menggunakan empiri. Penggunaan empiri ini justru akan menghasilkan kesimpulan bahwa Tuhan tidak perlu dipercayai karena indera tidak dapat membuktikan keberadaannya. Demikian pula pengembangan ilmu komputer, misalnya, tidak mungkin diperoleh melalui wahyu karena tidak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan rumus-rumus komputer.
Kuhn juga mengajukan gugatan atas paradigma positivisme ilmu modern. Berbagai teori ilmu modern menurutnya telah gagal dalam mengungkap misteri yang berada di balik fenomena dan gejala ilmu. Ilmu modern telah menyisakan banyak persoalan dalam kehidupan sehingga meniscayakan perlunya perubahan paradigma dalam ilmu modern.
Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-komplementer. Sumber kebenaran ilmu tidak hanya rasio dan empiri, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dimasukkannya intuisi dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi diterimanya kebenaran agama.
Apabila keempat sumber kebenaran tersebut dipahami sebagai cara mendapatkan kebenaran, maka cara tersebut harus pula disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, kesalahan dalam penggunaan cara dapat pula mengakibatkan kesimpulan yang salah (sesat pikir). Sebagai contoh untuk memahami keberadaan Tuhan tidaklah tepat menggunakan empiri. Penggunaan empiri ini justru akan menghasilkan kesimpulan bahwa Tuhan tidak perlu dipercayai karena indera tidak dapat membuktikan keberadaannya. Demikian pula pengembangan ilmu komputer, misalnya, tidak mungkin diperoleh melalui wahyu karena tidak ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan rumus-rumus komputer.
Dengan demikian, upaya ilmiah mengandaikan
nilai-nilai tertentu yang melatarbelakanginya. Pengandaian nilaipun akan
berlangsung ketika sampai pada aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran
metafisika diperlukan agar penjelasan dan dasar logikanya mampu melampaui
realitas sehingga terbangun penalaran yang berdasar pada paham dasar pemikiran
yang melatarbelakanginya. Hal-hal itulah yang muncul tatkala berlangsung
perbenturan antara ilmu sakral dan ilmu sekuler sehingga mencari kemungkinan
berbagai pemikiran sebagai jalan keluar.
Sistem budaya dan peradaban modern adalah kelanjutan atau perkembangan lebih lanjut dari kehidupan budaya manusia pada tahap positif . sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa kehidupan budaya positif ditandai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendominasi, menentukan, dan mewarnai kehidupan sosial budaya manusia.
Sistem budaya dan peradaban modern adalah kelanjutan atau perkembangan lebih lanjut dari kehidupan budaya manusia pada tahap positif . sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa kehidupan budaya positif ditandai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendominasi, menentukan, dan mewarnai kehidupan sosial budaya manusia.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih,
manusia merasa mampu hidup mandiri dan menolak pengaruh, kontrol yang berasal
dari agama. Agama tidak lagi mempunyai peran dan fungsi sebagai pengarah dan
pengendali terhadap perkembangan kehidupan sosial budaya manusia.
Sistem kehidupan sosial budaya dan peradaban modern
sekarang ini sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya situasi dan
kondisi problematis bahkan kritis, yang eksisitensi manusia dan kemanusiaannya.
Untuk bisa keluar dari kondisi problematis dan kritis tampaknya memerlukan intervensi
nilai-nilai universal dan adanya kekuatan atau daya kendali dan kontrol ke
dalamnya nilai-nilai universal berfungsi untuk memadukan dan mensinkronkan
tujuan-tujuan sementara dan kondisional antara kelompok masyarakat/bangsa,
sehingga bisa dihindari terjadinya konflik antar kelompok masyarakat/bangsa
tersebut. Sedangkan kekuatan pengontrol/pengendali berfungsi untuk
mengendalikan berbagai kebebasan yang merupakan ciri dari sistem budaya dan
peradaban modern tersebut, untuk menjadi kebebasan yang bertanggungjawab.
Untuk memerankan dan menjadikan agama sebagai bagian integral dalam sistem budaya dan peradaban modern, yang ditandai dengan kemajuan di bidang iptek yang canggih, maka masyarakat modern harus memiliki dan mampu mewujudkan : (1) kebutuhan atau kepercyaan kepada Tuhan dengan segala atributnya; (2) hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; (3) doktrin tentang fungsi sosial ilmu pengetahuan dan teknologi: tujuan hidup bukanlah sekedar meraih kemauan di bidang iptek serta efek pengiringnya, tetapi pada cara penggunaan serta arahnya yang jelas untuk kemaslahatan hidup manusia dan alam sekitarnya dalam rangka mengabdi kepada-Nya dan mengenai tanda-tanda kekuasaan-Nya; (4) pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak bisa didekati secara empiris dan induktif, melainkan dengan cara deduktif dan “percaya” dan (5) kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya. Kelima hal terbsebut, diharapkan dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan bagi masyarakat/bangsa modern, guna mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem budaya dan peradaban modern.
Untuk memerankan dan menjadikan agama sebagai bagian integral dalam sistem budaya dan peradaban modern, yang ditandai dengan kemajuan di bidang iptek yang canggih, maka masyarakat modern harus memiliki dan mampu mewujudkan : (1) kebutuhan atau kepercyaan kepada Tuhan dengan segala atributnya; (2) hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; (3) doktrin tentang fungsi sosial ilmu pengetahuan dan teknologi: tujuan hidup bukanlah sekedar meraih kemauan di bidang iptek serta efek pengiringnya, tetapi pada cara penggunaan serta arahnya yang jelas untuk kemaslahatan hidup manusia dan alam sekitarnya dalam rangka mengabdi kepada-Nya dan mengenai tanda-tanda kekuasaan-Nya; (4) pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak bisa didekati secara empiris dan induktif, melainkan dengan cara deduktif dan “percaya” dan (5) kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya. Kelima hal terbsebut, diharapkan dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan bagi masyarakat/bangsa modern, guna mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem budaya dan peradaban modern.
Sumber
: http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/meretas-sinergi-ilmu-pengetahuan.html
Komentar
Posting Komentar